Rabu, 11 September 2013

cara mengelola keinginan

Mengelola Keinginan


Seorang ibu yang memasuki usia lanjut menjadi sangat kurus dan sakit-sakitan memikirkan anak-anaknya yang belum menikah di usia matang dan juga anak lain yang mengalami perceraian.

Sementara Carol, murid SMA, hampir saja bunuh diri karena berturut-turut ditolak cintanya oleh dua gadis teman sekolahnya. Doni menyerang ibunya dengan kata-kata tajam karena ibunya banyak sekali menolak keinginannya.

Semua persoalan di atas bermuara dari adanya keinginan. Si ibu berkeinginan agar anak-anaknya hidup bahagia dalam perkawinan. Carol ingin diterima sebagai pacar gadis yang disayanginya. Doni memiliki banyak keinginan yang maunya terkabul semua. Sungguh, keinginan dapat membuat kita merasa menderita bila tidak tercapai.

Karena suatu keinginan tidak tercapai, ada kalanya seseorang putus asa. Ada yang melampiaskannya dengan usaha bunuh diri. Ada juga yang merespon dengan meniadakan keinginan yang menyebabkannya kecewa. Dapat diambil contoh, Bapak Ch, hingga lanjut usai ia memilih hidup lajang karena keinginannya untuk menyunting Tanti Yosepha tidak tercapai.

Bila keinginan tidak terpenuhi, kita dapat merasa kecewa, sedih, marah, dan merasa menderita. Bahkan seseorang dapat menderita (sakit fisik atau psikis) karena terlalu mengejar sesuatu hal dalam hidupnya.

Namun, meniadakan keinginan seperti Bapak Ch meniadakan keinginan untuk menyunting wanita juga tidak menjamin kebahagiaan. Yang penting adalah mengelola keinginan.

Keinginan yang kuat tetapi terkendali dan tidak egoistis, sangat dibutuhkan agar kita mengalami kemajuan serta hidup tenteram bersama orang lain. Keinginan yang terkendali disebut sebagai kehendak.

Hazrat Inayat Khan (1882- 1927), pendiri tarekat kesufian di Barat dalam bukunya yang berjudul asli Spiritual Dimensions of Psychology menyatakan pentingnya mempelajari eksistensi kehendak.

Hidup dan Keinginan Sepanjang hidup, selalu ada keinginan dalam diri manusia. Keinginan atau motivasi merupakan penggerak perilaku. Untuk dapat berjalan, kita tidak hanya membutuhkan kaki sehat, tetapi juga perlu keinginan untuk berjalan.

Untuk bicara, kita tidak hanya memerlukan alat-alat tubuh untuk bicara, melainkan juga mensyaratkan adanya keinginan bicara. Untuk hidup kita bukan hanya butuh makanan dan pakaian, tetapi diperlukan juga keinginan untuk hidup.

Kehidupan yang nyaman, kehidupan yang sejahtera, karya-karya agung umat manusia, perwujudan-perwujudan cinta dan kasih sayang antarmanusia, dsb, semuanya dapat terwujud karena adanya keinginan atau kehendak.

Tidak dipungkiri bahwa kerusakan dalam hidup manusia (bencana, perang, penyakit) terjadinya juga tidak lepas dari adanya keinginan-keinginan. Keinginan menguasai pihak lain menghasilkan perang; keinginan mengeksploitasi lingkungan alam menghasilkan bencana; dan keinginan untuk hidup bebas tanpa aturan dapat mendatangkan penyakit.

Dengan demikian, keinginan dapat dibedakan atas keinginan yang luhur dan yang merusak (destruktif). Keinginan luhur, dalam jangka panjang menghasilkan hal-hal yang menyenangkan. Sementara itu, keinginan destruktif (biasanya merupakan keinginan egoistis dari individu atau kelompok) dalam jangka panjang menghasilkan hal-hal yang merusak dan menimbulkan kesengsaraan bagi diri sendiri dan orang lain.

Di sisi lain, keinginan juga dapat dibedakan dari hal kuat atau lemahnya keinginan tersebut. Bila kita memiliki keinginan yang kuat dalam satu hal, kita memiliki daya penggerak untuk mewujudkannya menjadi suatu tindakan.

Lain halnya bila kita hanya sedikit memiliki keinginan dalam suatu hal, kita juga hanya memiliki sedikit daya penggerak untuk mewujudkannya menjadi suatu tindakan. Jadi, bila dalam hidup kita memiliki keinginan yang kuat, besar kemungkinan kita untuk mencapai sesuatu seperti yang kita inginkan.

Selain itu, keinginan dapat dibedakan dari terkendali atau tidaknya. Keinginan yang tidak terkendali menyeruak tanpa memedulikan situasi lingkungan ataupun diri sendiri, dan bila tidak tercapai kita akan merasa sangat menderita (frustrasi).

Sementara keinginan yang terkendali, meskipun mungkin kuat, perwujudannya dalam tindakan tetap menimbang situasi lingkungan dan diri sendiri, dan bila tidak tercapai kita tidak sampai sangat menderita.

Keinginan dan Kebijaksanaan Ada kalanya kita menemukan seseorang yang sangat aktif, banyak kemauan (keinginan). Ada yang aktif dan selalu mendahulukan/memaksakan keinginannya, dan ada pula yang aktif tetapi bijaksana mengatur keinginannya.

Menurut Hazrat Inayat Khan, orang yang setiap saat memaksakan kehendaknya, akan sangat cepat tegang dan membuatnya cepat lelah. Keadaannya dapat digambarkan seperti seseorang yang memegang seutas tali, dan dengan keyakinannya dia menggesekkan tali itu pada sisi tajam sebuah batu. Orang yang sering memaksakan keinginan seperti itu lebih sering cepat gagal.

Memaksakan keinginan atau kehendak adalah tindakan yang tidak bijaksana. Hal ini menunjukkan tiadanya pengendalian. Namun, orang yang bijaksana tetapi tanpa kehendak (tanpa keinginan kuat), sama payahnya dengan orang yang memaksakan keinginan. Ia tidak akan membawa kemajuan apa-apa.

Antara keinginan dan kebijaksanaan, keduanya perlu berjalan bersama dan selaras. Tidak perlu ada salah satu yang didahulukan. Sumber kebijaksanaan adalah ketenangan pikiran. Bila pikiran tenang, ia akan menghasilkan pemikiran yang benar dan kebijaksanaan memancar darinya. Dalam ketenangan pikiran, kehendak dan kebijaksanaan menyatu dan mengantarkan seseorang pada keberhasilan.

Dalam kaitannya dengan mengelola keinginan, istilah “pemikiran yang benar” tersebut di atas berarti pemahaman yang benar terhadap keinginan yang ada dalam diri sendiri dan juga bagaimana mewujudkannya agar tidak mengganggu keselarasan dalam hubungan dengan orang lain.

Untuk itu, diperlukan juga pemahaman terhadap keinginan orang lain. Bila terdapat pengertian yang utuh antara keinginan sendiri dan keinginan orang lain, kita akan menemukan posisi yang tepat untuk menentukan tindakan yang terbaik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Dengan mengenali keinginan-keinginan diri secara demikian, selanjutnya kita akan menemukan bahwa keinginan-keinginan kita yang egoistis atau keinginan-keinginan primitif mereda, sementara keinginan-keinginan yang luhur yang selaras dengan orang lain diperkuat.

Hal ini terjadi karena pemahaman yang utuh tersebut menghasilkan empati terhadap orang lain dan rasa sama dengan orang lain. Dengan sendirinya, keinginan-keinginan kita yang berkembang lebih lanjut adalah keinginan-keinginan yang selaras dengan orang lain atau keinginan-keinginan yang terkendali, yakni kehendak.

Kendalikan Emosi dan Tindakan Kehendak adalah hal yang luhur. Tanpa ada kehendak, tidak akan ada perkembangan kehidupan. Yang ada adalah impuls-impuls keinginan yang liar yang justru dapat membawa kesusahan, bahkan kematian.

Kehendak dapat diperkuat melalui latihan, dengan menanggulangi rintangan, baik di dalam diri atau di luar diri, melalui tindakan yang berlawanan dengan kecondongan diri sendiri (impuls).

Dengan memastikan impuls-impuls dalam pemeriksaan, kita tidak membiarkan diri dikuasai kemarahan, kesenangan, kesedihan, atau kesenangan dan kesedihan yang ekstrem. Kita juga tidak membiarkan diri dikendalikan oleh mood (emosi) negatif, dan bahkan dapat menggantinya dengan emosi yang positif.

Kemampuan seseorang untuk mengorganisasi dan mengatur tindakan-tindakan terjadi melalui perkembangan serangkaian kemampuan (Maccoby, 1980):

Mampu menunda tindakan-tindakan tertentu bila ia ingin meraih suatu konsekuensi-konsekuensi yang lebih dapat diterima. Contoh, untuk dapat mengalami perkawinan yang langgeng, ia menunda perkawinan sampai menemukan orang yang betul-betul dapat diandalkan.Konsekuensi-konsekuensi jangka panjang lebih dipertimbangkan dalam pemilihan tindakan saat ini.Apabila pencapaian tujuan terhambat, ia mampu secara aktif menemukan jalan keluar, menyingkirkan hambatan.Apabila aktivitas pencapaian tujuan terhambat, ia tidak menjadi sedemikian emosional hingga melakukan hal-hal yang tidak terorganisasi (lepas kendali).Mampu mengintegrasikan usaha-usahanya sehingga selaras dari waktu ke waktu.Mampu berkonsentrasi, mengabaikan stimulus yang tidak relevan dengan tujuan, dan memaksimalkan masukan informasi (dari lingkungan dan dari memori) yang diperlukan untuk melaksanakan rencana-rencana yang telah disusun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar